Indahnya Hidup dalam Harmoni

Buku Antologi Puisi Harmoni

Buku Antologi Puisi Harmoni

Judul Buku: Harmoni; Antologi Puisi Warung Blogger
Penulis: Abdul Cholik, Menara Larasati, Zulfa Nurul Alawiyyah, dkk.
Penerbit: Sixmidad, Bogor
Tebal: 142 hlm.
Harga: Rp.35.000,-
ISBN: 978-602-14595-4-6

Hidup dalam harmoni, betapa indahnya. Keselarasan mengalir di setiap ruang dan waktu. Inilah yang terjadi bila jiwa bersyukur. Bukankah nikmat yang Kau berikan begitu berlimpah/ Tak ada satu pun yang mampu menghitung karunia yang Engkau sebar setiap saat, ungkap Abdul Cholik dalam puisi pertama di buku ini.

Kesadaran semacam ini menjadikan Abi Sabila merasa Aku malu/ Bukan karena tak berbaju/ Tapi karena berharap menjadi ahli jannah-Mu/ Sementara terlalu banyak alasanku/ Untuk meninggalkan perintah-Mu. Maka, berserah diri kepada-Nya tentu pilihan yang luar biasa. Sehingga, hanya rasa yang ada/ semua lebur bersama cahaya/ cahaya keindahan dan kebahagiaan, tulis Achmad Edi Goenawan.

Membacanya, saya teringat kemuliaan seorang ibu, sebagaimana puisi Achmad Rifaldi, Ibu yang menjagaku/ Ibu yang melahirkanku/ Ibu yang selalu ada di sisiku. Sebuah ingatan yang melahirkan rasa rindu. Dan, Anies Anggara menuliskannya, Oh Ibuku/ Ribuan kapan pun kan kutiti jejak tapak kakimu. Sungguh, lanjut Ea Lisnawati, Aku tak bisa menahan rindu ini/ Rindu ingin mengadu di pelukanmu/ Rindu ingin bersandar di pundakmu/ Ibu, di mana pun engkau berada.

Keadaan semacam ini tentu membangun sebuah kesadaran. Sebagaimana puisi Akhmad Muhaimin Azzet kala mendapat pesan dari sang guru. Sadar kala bernapas, zet/ juga menjaga langkah/ setiap waktu.

Sehingga, hubungan yang mesra itu tetap terjaga. Dewi Fatma pun menuliskan puisinya, Aku akan datang padamu/ Karena kita telah berjanji, untuk selalu bertemu. Ya, bertemu di sebuah tempat yang tak sekadar, sebagaimana ditulis Edrida Pulungan, negeri dengan beribu-ribu pulau/ negeri dengan luas lautan dan garis pantai.

Menjaga harmoni semacam ini penting agar kita tak bertemu tuyul sebagaimana puisi Harmadi Halil, Tuyul-tuyul terhormat yang nuraninya gundul/ Yang meraja disertai muka tebalnya. Agar kita juga tetap waspada, terutama dalam mengelola diri. Sebab, tulis Hikmat Firmansyah, Ada singa dalam dada mengaum-aum/ yang mestinya dibuatkan kandangnya dari besi. Maka jangan sampai kita kehilangan arah, seperti puisi Mechta Deera, Sampai di manakah aku kini?/ setelah sekian lama waktu berlalu. Sungguh, jangan sampai menjadi sebagaimana tulis Kevin Evannanda Septian, Yang buta akan ratap tangis negeri/ Kami terkikis, terkangkang, tertendang, terbuang.

Padahal, perjalanan telah meruang dan waktu. Sebagaimana puisi Lea, Sudah sehari, sudah petang/ Barat menyisakan peraduan senja. Jangan sampai kita menjadi orang yang lupa. Lianny Hendrawati menuliskannya, Ah, kenapa aku sampai melupakan Sang Pencipta?/ Yang Maha Kuasa …. Hingga luruh jiwa kita. Persis puisi Lily Suhana, kutahan malu yang meronta di hati/ kutatapi sajadah ini/ menangis hanya diri ini.

Pada saat seperti inilah betapa kemesraan luar biasa. Menara Larasati pun mengabadikannya dalam puisi, pada siapa ku melabuh rasa/ pada siapa ku merebah luka/ pada Nya tercurah segalanya. Sehingga, kita menjadi orang yang peka. Sebagaimana tulis Mugniar, Kudengar banyak suara/ Yang lewat, yang berdendang, yang menyapa.

Inilah bentuk keintiman sumber bahagia. N. Kirana mengguratkannya dalam puisi, Tuhanku/ ke mana pun aku berlari, hanya Engkau yang Setia menemani. Duhai, betapa indahnya. Maka, Noorma Fitriana M. Zain pun menuliskannya, Tuhan/ Semerbak wangi bunga surga sangat kudamba. Inilah jiwa yang semoga bercahaya. Sebagaimana puisi Nova Violita, Bulir keimanan sirami tandus jiwa/ Taklah lagi gelap tak tahu malam ….

Sahabat tercinta, ini bukan tentang siapa-siapa. Nur Aini Iswati Hasanah menuliskan puisinya, Aku tersadar dari lamunku/ Ini tentangmu dan tentangku. Phie juga menulis puisi, Percik beningmu/ Hampir selalu hinggap di tiap hariku. Ini tentang kita, juga orangtua kita. Oleh karena itulah R. Zabriansyah Hakim menggetarkan jiwa, Mak, Mak. Jangan menangis, Mak ….

Di sinilah penting bagi kita bersama untuk terus-menerus mencari jalan terang. Sebagaimana pengakuan Sang Shafa, Tak ingin tersesat lebih jauh/ Dalam kubangan hina/ Yang mengotori hati dan pikiranku. Lalu, bersegeralah bangkit duhai para pencinta, seperti puisi Shofie Akmala Lutfie, di Sepertiga malam/ Berjajar dengannya/ Di atas sajadah. Oh, betapa indahnya. Rudi G. Aswan pun menulis,  Dalam sunyimu aku terlelap/ mendaraskan mimpi yang jelita. Sjahrijati Yati Rachmat semakin larut dalam puisi, dengan derai bening menggelinding berkejaran di pipi, deras dengan siratan pandang penuh ketulusan dan kasih sayang.

Bila sudah demikian, jangan lagi limbung, duhai jiwa. Jangan lagi, dalam bahasa Sukadi Brotoadmojo, Sungai yang harusnya mengalirkan kejernihan/ Berganti dengan hitamnya limbah. Kita percaya, masih terjaga rindu ini. Sebagaimana puisi Sunardi, masa itu menyemayam kalbu/ ku tahu kau rindu/ juga aku. Tita Kurniawan pun menegaskan, Aku hanya ingin membuka mata/ Apa ujung ini semua/ Dan di mana akan bermuara.

Dengan demikian, kerinduan tetap terjaga. Tiwwi Widyawati menuliskan, sesungguhnya aku sangat ingin kau kembali seperti sedia kala/ Kau yang dulunya selalu ada dalam segala kondisiku. Sebuah kerinduan akan hidup yang bercahaya. Sebagaimana puisi Vera Astanti, di mana sepasang bidadara bidadari bercengkerama mesra/ diiringi kilau intan purnama.

Ya, kerinduan itu begitu kuat. Persis yang dituliskan Zuhanna Anibuddin Zuhro, Rindu kami sudah terlalu kuat untuk ditahan/ Kami butuh menuntaskannya dengan indah …. Dan, kian ditegaskan Zulfa Nurul Alawiyyah dalam puisinya, Suara burung yang berpadu dengan hembusan angin yang sejuk/ Membawa kenikmatan yang tak ada tandingan.

Demikianlah. Betapa indahnya hidup dalam harmoni. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita bersama. Khusus bagi para sahabat yang menghendaki buku yang asyik ini, silakan menuliskan pesan ke Facebook Mas Belalang Cerewet.

Salam Harmoni,
Akhmad Muhaimin Azzet

26 thoughts on “Indahnya Hidup dalam Harmoni

  1. Wow… jempol, ustadz… pandainya merangkai larik2 kata dalam beragam puisi itu menjadi sebuah postingan yg indah… Saya sungguh bangga mendapat kesempatan berbagi untaian kata dg teman2 yang keren2 itu… Alhamdulillah…

  2. Selamat ya pak Ustadz atas terbitnya buku kumpulan puisi ini… Aku paling gak bisa bikin puisi… Makanya aku salut dan angkat topi kepada blogger2 keren yang jago bikin puisi… Bisa merangkai kata2 indah dan menjadikannya menjadi untaian puisi manis adalah suatu anugerah..

    • Alhamdulillaah…, makasih banyak ya, Mbak Rita Asmaraningsih. Hehe…, saya juga sering merasa tidak mudah kok, Mbak, kala menulis puisi. Tapi, menulis dengan pilihan apa pun, semoga bermanfaat ya, Mbak.

  3. Subhanallah….Pak Ustadz piawai merangkai untaian puisi kita semua menjadi harmoni indah dlm artikel ini.
    Alhamdulillah…. bunda sdh punya buku ini 😊
    Terimakasih Pak Ustadz utk artikelnya

    Salam

    • Subhanalloh walhamdulillaah…
      Ini semua tentu puisi para sahabat yang ada dalam buku antologi “Harmoni” memang sudah indah, Bunda, dan saya tinggal merangkainya dengan cinta.
      Sama-sama, Bunda, terima kasih juga telah singgah kemari nggih.

      Salam dari Jogja.

  4. Terpaku oleh keelokan harmoni antar baris puisi sahabat dalam jalinan khas postingan panjenengan ini. Indahnya menata dan menjaga harmoni.
    Salam

Tinggalkan Balasan ke akhmad muhaimin azzet Batalkan balasan